Monday, April 30, 2012

PERAHU BIDAR DI SUNGAI MUSIKU





Menurut Topografi (Ilmu yang mempelajari tentang bentuk permukaan bumi dan objek lain seperti planet, satelit alami bulan dsb) Palembang adalah kota yang di kelilingi oleh air,  bahkan terendam oleh air. Maka dari itu nenek moyang orang Palembang menamakan kota ini sebagai kota Palembang. Kata Palembang sendiri berasal dari  bahasa melayu,  pa atau pe yang memiliki arti sebagai kata tunjuk suatu tempat atau keadaan. Sedangkan lembang atau lembeng adalah genangan air.  Jadi, Palembang bisa di artikan suatu tempat (kota) yang di genangi air.
  

Suasana Kehidupan Masyarakat yang tinggal di pinggir sungai Musi.
 
Tapi. air yang menggenangi wilayah kota Palembang masih cukup aman dan sepertinya tidak akan membahayakan masyarakat di sekitarnya, karena air ini pasang surut. Kerana wilayahnya di kelilingi oleh air, maka transportasi laut / air sangat vital sekali bagi masyarakat di sekitar sungai-sungai tersebut. Palembang memiliki 108 anak sungai, dan Sungai musi menjadi induknya.

Bicara tentang sungai musi dan sungai-sungai yang lainnya yang ada di Sumatera Selatan, akhirnya membuka kembali memori saya, memori ketika saya masih duduk bangku sekolah dulu. Menjelang  hari kemerdekaan 17 Agustus,  masyarakat Palembang sudah bersiap-siap untuk menyambut hari bahagia bangsa yang kita cintai ini. Antusias  masyarakat sungguh luar biasa. Mulai dari lomba makan kerupuk sampai dengan lomba-lomba yang menguras energi dan biaya,  mereka sanggup  mengadakannya.

Perahu Bidar

Perlombaan yang sangat terkesan di hati saya setiap menjelang hari kemerdekaan Republik Indonesia ini adalah, perlombaan perahu bidar. Perahu Bidar adalah suatu kompetisi mendayung yang menggunakan sampan / perahu. Perahu yang disering di gunakan untuk perlombaan perahu bidar adalah perahu yang biasanya memiliki ukuran yang cukup besar. Lebar perahu mulai dari 1,5 meter sampai dengan 3 meter, sedangkan panjang perahu itu sendiri memiliki panjang 10 sampai dengan 30 meter. Perahu bidar ini bisa di kayuh oleh 8 – 30 orang.

Perahu bidar memiliki daya tarik sendiri. Dari setiap satu perahu bidar, ia memiliki anggota yang bertugas menjadi juragan (orang yang mengarahkan yang posisinya ada di depan para pendayung), 1 orang sebagai tukang penimba air, dan sisanya menjadi pendayung.

Kekompakan, kecepatan, keindahan dalam mendayung dan keindahan perahu itu sendiri yang akan menjadi hal penting untuk menjadikan kita duduk menjadi sang juara.

Sambil berdiri di atas jembatan bersama penonton-penonton yang lain, sorak suara penonton bergemuruh. Terik mentari, bahkan hujanpun tak menjadi halangan untuk menyaksikan pertarungan.

Suasana seperti ini tidak hanya  kita lihat ketika menjelang hari kemerdekaan Republik Indonesia. Namun, pada saat hari Ulang tahun kota Palembang, Pemerintah Daerah mengadakan sebuah lomba  bertajuk PERAHU BIDAR BERPRESTASI tiap tahunnya.  Jika di hari Kemerdekaan, Perahu bidar di perlombakan dengan mengadu kecepatan dari mulai garis start sampai dengan garis finish. Tapi, pada Ulang tahun Kota Palembang, Perahu Bidar ini di adu untuk mencari Perahu-perahu bidar yang unik, kreatif, menarik, dan indah.

Perahu Bidar tidak hanya menjadi bagian dari cabang olahraga, tapi, Perahu Bidar termasuk kebanggaan tersendiri bagi masyarakat Palembang. Perahu bidarpun bisa kita jadikan sebagai objek wisata juga.

Sebagai kota yang 80 % di kelilingi sungai-sungai, maka limpahan rahmat dari ALLAH pun berada di dalamnya. Air menjadi sahabat bagi masyarakat Palembang, dan ALLAH ciptakan air sebagai sahabat yang menguntungkan bagi siapapun yang menghendakinya.

Perahu Bidar yang menggunakan  ketangkasan, kekompakan, keindahanlah yang akan menjadi pemenang. Palembang, karena sungaimu engkau menjadi  terkenal. Maka dari itu, mari kita jaga dan pelihara Sungai kita. Mari kita lestarikan kesenian dan kebudayaan daerah kita !!. Perahu Bidar Di Sungai Musiku.

Pesona Bumi Sriwijaya


Setiap orang tentu memiliki kebanggan terhadap kota kelahirannya, begitupun saya. Cinta dan kebanggaan saya terhadap bumi Sriwijaya, kota Palembang, kota dimana saya di lahirkan 31 tahun silam sudah tidak bisa di gambarkan. Meski  harus hijrah ke sebuah kota, tapi rasa cinta saya terhadap kota pempek ini  tidak akan pernah pudar, justru semakin mendalam.


Palembang  saya  datang “
Sebuah tulisan yang sempat saya  posting pada akun Facebook saya pada September 2010. Sesaat ketika mobil yang kami tumpangi sedang  melintasi  jembatan musi (jembatan Ampera).

Ketika melintasi jembatan yang di bangun sekitar tahun 1962, yang memisahkan antara seberang hulu dan seberang ilir ini, mengingatkan kembali akan kenang-kenangan yang pernah terjadi.

Bayangan wajah ayah yang ketika kecil selalu mengajak saya memutari pasar 16 yang berada di bawah proyek (red, jembatan ampere), sambil menggendong saya dan membawa sebuah kantong plastik hitam yang berisi sandal kelom ( sandal yang terbuat dari kayu). Tentu hal ini sudah membuat saya merindu kepada ayah yang kini telah terbaring memejamkan mata untuk selamanya.  

Bayangan wajah sahabat saya yang ketika duduk di SMK itu, menemani saya untuk membeli sebuah rok hitam di pasar 16 Ilir kala itu.

Ketika kami sampai di Palembang hari sudah gelap sekali, menunjukkan bahwa kami sudah menemui  malam hari. Meski saya lahir dan di besarkan di kota Palembang,, tapi pertama  kali saya melihat jembatan ampera di malam hari, yakni hari itu.

Badan yang letih karena seharian di perjalanan, sudah tidak di hiraukan, tubuh saya seperti bersemangat lagi ketika melihat kota Palembang di malam hari. Lampu-lampu kecil yang bergantungan di tiang jembatan, menambah keindahan jembatan ampera itu sendiri. Muda – mudi,  laki-laki  perempuan, anak-anak dan orang dewasa, semua sedang asyik menyaksikan kembang api yang di nyalakan oleh orang-orang dari  halaman Benteng Kuto Besak Palembang. Bahkan diantara mereka ada yang menyalakan petasan dari atas ketek (perahu) di atas sungai musi. Apalagi di tambah dengan suara gemercik air mancur di jantung kota Palembang membuat orang-orang membetahkan diri tidak mau beranjak pulang.

” Umi, mau kesitu !” pinta anak sulungku Fadllan sambil menunjuk ke arah Benteng Kuto Besak.

Karena hari sudah cukup malam, dan keluarga sudah menunggu di rumah, menanti kehadiran kami sejak kemarin siang, akhirnya saya memutuskan untuk meneruskan perjalanan menuju Plaju dan ke arah Sei-gerong. Sayapun berjanji bahwa esok lusa saya akan membawa anak-anak ke sana.

Pada lebaran ke 3 di hari raya Idul Fitri, saya berniat mengajak suami dan anak-anak untuk melihat Jembatan ampera ketika di siang hari. Sungguh luar biasa, tata kotanya semakin indah. Lalu lintasnya rapi dan tertib. Pasar 16 yang dahulu saya tahu, kini sudah di sulap menjadi taman kota yang bersih, aman dan indah.

Pempek yang di jual oleh bapak-bapak yang membawa sepeda akan banyak kita jumpai. Jangan khawatir tidak akan merogoh kocek anda secara berlebihan, harganya murah meriah kok. Di bawah pohon yang rindang, sambil menikmati pempek dan es tebu, mendengar suara ketek (perahu) yang melintas, seolah saya tidak ingin beranjak dari tempat itu.

Tawaran dari bapak-bapak pemilik ketek itu akhirnya berdatangan. Mereka menawarkan jasa untuk mengantar kami ke sebuah tempat bersejarah juga, yakni Pulo Kemarau. Atau sekedar ingin menikmati suasana di atas sungai musi, mereka akan siap mengantar. Kalau saya  dan suami sudah pernah berkunjung ke pulau kemarau, tapi untuk bersama-sama anak-anak belum sempat saya coba. Saya berdoa semoga suatu hari saya bisa mengajak anak-anak untuk berkunjung di sebuah pulau yang memiliki sebuah lagenda. Cerita cinta antara putri dari raja Sriwijaya yakni Siti Fatimah dan seorang putra raja dari Tiongkok bernama Tan Bun Ann.

Foto Pribadi, September 2010
Kamera di tangan sudah tidak tahan minta di gunakan, akhirnya, kami mengabadikan moment keluarga yang saya rasa belum tentu bisa kami rasakan kembali.
”Rasanya kurang lengkap jika hari ini tidak berfoto dengan background jembatan ampera ” ujarku dalam hati.

Akhirnya kamerapun  beraksi. Semua gaya, dan di setiap sudut  sudah kami abadikan.

Sebagai pelengkapnya perjalanan kami kali ini, kami menyebrang jalan dan menuju Museum Sultan Mahmud Badarudin II Palembang. Di museum ini kita bisa melihat benda-benda bersejarah peninggalan raja Sriwijaya. Setelah itu kami menuju Masjid Agung Palembang untuk melaksanakan shalat dzuhur. Ketika hendak menuju Masjid Agung Palembang, kita bisa berjalan kaki, karena jarak dari Museum Sultan Mahmud Badarudin II ini tidak berjauhan.

Masjid Agung  Palembang ini adalah masjid yang didirikan oleh  Sultan Mahmud Badaruddin I atau Sultan Mahmud Badaruddin Jaya Wikramo mulai tahun 1738 sampai 1748. Arsitekturnya yang begitu indah, taman masjid yang begitu asri, air mancur sebagai pelengkap indahnya rumah ALLAH ini. Jika kita sudah berada di dalam masjid ini, rasanya sulit sekali  mengangkat badan ini untuk bangun, dikarenakan suasananya yang membuat kita betah berlama-lama.

Masjid Agung Palembang, September 2010
Perut semakin berbunyi tanda segera minta di isi, karena rindu dengan makanan khas Palembang.  Akhirnya, martabak Har jadi pilihan.  Keluar masjid Agung, kemudian kita bisa naik tangga penyeberangan untuk menuju toko yang saya yang maksud tadi. Beberapa menit kemudia tibalah kami di sebuah toko yang bernama Martabak Har.  Martabak yang di olah hampir sama dengan martabak telur yang lainnya ini memiliki rasa yang unik, lezat. Martabak ini menggunakan kuah kari sebagai pendambing dari martabak itu sendiri.

Karena martabak Har ini tidak pernah saya temukan di kota tempat saya tinggal sekarang.  Maka dari itu, sebagai pembalasan, 2 porsi martabak har tidak terasa saya sikat. Hmm, mungkin anda akan menggeleng-gelengkankan kepala mendengarnya. Tapi, karena cita rasa dari martabak ini sungguh berbeda dari martabak yang lainnya, maka saya yakin, andapun akan melakukan hal yang sama seperti saya.

Masih ragu untuk mengunjungi kota Palembang ? Tunggu apalagi, sudah bukan waktunya anda menunda-nunda  waktu untuk berkunjung ke bumi Sriwijaya ini kawan.  Jadikan Palembang salah satu kota tujuan wisata anda berikutnya. Ayo, nikmatin semuanya disini, di bumi Sriwijaya !.  Mau wisata kuliner, mengunjungi langsung ke tempat pembuatan kain songket. Mendatangi tempat-tempat bersejarah, seperti museum, pohon cinta di pulau kemarau. Stadiun Jakabaring (Gelora Sriwijaya), sambil menonton team sepakbola andalan Sriwijaya FC berlatih. Menikmati keindahan sungai musi dengan menaiki ketek / perahu yang sudah tersedia. Menikmati keindahan Jembatan Ampera di malam hari, dan masih banyak lagi. Lalu, tunggu apa lagi kawan ?.

Saya yakin, ketika anda berada sekali saja di kota ini, anda akan merasa ketagihan untuk terus berada disini. Seperti kami yang selalu merindukan, memiliki hasrat untuk terus ingin kembali ke bumi Sriwijaya ini.

AYAH (Karya Oriza Sativa)

Abi  anak-anak saya  Ayah.. Siang Malam Panas Dan Hujan Kau Tak Berhenti Mencari Rezeki Demi… Aku Anakmu Ayah.. Kau aja...