Setiap orang tentu memiliki kebanggan terhadap
kota kelahirannya, begitupun saya. Cinta dan kebanggaan saya terhadap bumi Sriwijaya,
kota Palembang,
kota dimana saya di lahirkan 31 tahun silam sudah tidak bisa di gambarkan. Meski
harus hijrah ke sebuah
kota, tapi rasa cinta saya terhadap
kota pempek ini
tidak akan pernah pudar, justru semakin mendalam.
Sebuah tulisan yang sempat saya posting pada akun Facebook saya pada September 2010. Sesaat ketika mobil yang kami tumpangi sedang melintasi jembatan musi (jembatan Ampera).
Ketika melintasi jembatan yang di bangun sekitar tahun 1962, yang memisahkan antara seberang hulu dan seberang ilir ini, mengingatkan kembali akan kenang-kenangan yang pernah terjadi.
Bayangan wajah ayah yang ketika kecil selalu mengajak saya memutari pasar 16 yang berada di bawah proyek (red, jembatan ampere), sambil menggendong saya dan membawa sebuah kantong plastik hitam yang berisi sandal kelom ( sandal yang terbuat dari kayu). Tentu hal ini sudah membuat saya merindu kepada ayah yang kini telah terbaring memejamkan mata untuk selamanya.
Bayangan wajah sahabat saya yang ketika duduk di SMK itu, menemani saya untuk membeli sebuah rok hitam di pasar 16 Ilir kala itu.
Ketika kami sampai di Palembang hari sudah gelap sekali, menunjukkan bahwa kami sudah menemui malam hari. Meski saya lahir dan di besarkan di kota Palembang,, tapi pertama kali saya melihat jembatan ampera di malam hari, yakni hari itu.
Badan yang letih karena seharian di perjalanan, sudah tidak di hiraukan, tubuh saya seperti bersemangat lagi ketika melihat kota Palembang di malam hari. Lampu-lampu kecil yang bergantungan di tiang jembatan, menambah keindahan jembatan ampera itu sendiri. Muda – mudi, laki-laki perempuan, anak-anak dan orang dewasa, semua sedang asyik menyaksikan kembang api yang di nyalakan oleh orang-orang dari halaman Benteng Kuto Besak Palembang. Bahkan diantara mereka ada yang menyalakan petasan dari atas ketek (perahu) di atas sungai musi. Apalagi di tambah dengan suara gemercik air mancur di jantung kota Palembang membuat orang-orang membetahkan diri tidak mau beranjak pulang.
” Umi, mau kesitu !” pinta anak sulungku Fadllan sambil menunjuk ke arah Benteng Kuto Besak.
Karena hari sudah cukup malam, dan keluarga sudah menunggu di rumah, menanti kehadiran kami sejak kemarin siang, akhirnya saya memutuskan untuk meneruskan perjalanan menuju Plaju dan ke arah Sei-gerong. Sayapun berjanji bahwa esok lusa saya akan membawa anak-anak ke sana.
Pada lebaran ke 3 di hari raya Idul Fitri, saya berniat mengajak suami dan anak-anak untuk melihat Jembatan ampera ketika di siang hari. Sungguh luar biasa, tata kotanya semakin indah. Lalu lintasnya rapi dan tertib. Pasar 16 yang dahulu saya tahu, kini sudah di sulap menjadi taman kota yang bersih, aman dan indah.
Pempek yang di jual oleh bapak-bapak yang membawa sepeda akan banyak kita jumpai. Jangan khawatir tidak akan merogoh kocek anda secara berlebihan, harganya murah meriah kok. Di bawah pohon yang rindang, sambil menikmati pempek dan es tebu, mendengar suara ketek (perahu) yang melintas, seolah saya tidak ingin beranjak dari tempat itu.
Tawaran dari bapak-bapak pemilik ketek itu akhirnya berdatangan. Mereka menawarkan jasa untuk mengantar kami ke sebuah tempat bersejarah juga, yakni Pulo Kemarau. Atau sekedar ingin menikmati suasana di atas sungai musi, mereka akan siap mengantar. Kalau saya dan suami sudah pernah berkunjung ke pulau kemarau, tapi untuk bersama-sama anak-anak belum sempat saya coba. Saya berdoa semoga suatu hari saya bisa mengajak anak-anak untuk berkunjung di sebuah pulau yang memiliki sebuah lagenda. Cerita cinta antara putri dari raja Sriwijaya yakni Siti Fatimah dan seorang putra raja dari Tiongkok bernama Tan Bun Ann.
|
Foto Pribadi, September 2010 |
Kamera di tangan sudah tidak tahan minta di gunakan, akhirnya, kami mengabadikan moment keluarga yang saya rasa belum tentu bisa kami rasakan kembali.
”Rasanya kurang lengkap jika hari ini tidak berfoto dengan background jembatan ampera ” ujarku dalam hati.
Akhirnya kamerapun beraksi. Semua gaya, dan di setiap sudut sudah kami abadikan.
Sebagai pelengkapnya perjalanan kami kali ini, kami menyebrang jalan dan menuju Museum Sultan Mahmud Badarudin II Palembang. Di museum ini kita bisa melihat benda-benda bersejarah peninggalan raja Sriwijaya. Setelah itu kami menuju Masjid Agung Palembang untuk melaksanakan shalat dzuhur. Ketika hendak menuju Masjid Agung Palembang, kita bisa berjalan kaki, karena jarak dari Museum Sultan Mahmud Badarudin II ini tidak berjauhan.
Masjid Agung Palembang ini adalah masjid yang didirikan oleh Sultan Mahmud Badaruddin I atau Sultan Mahmud Badaruddin Jaya Wikramo mulai tahun 1738 sampai 1748. Arsitekturnya yang begitu indah, taman masjid yang begitu asri, air mancur sebagai pelengkap indahnya rumah ALLAH ini. Jika kita sudah berada di dalam masjid ini, rasanya sulit sekali mengangkat badan ini untuk bangun, dikarenakan suasananya yang membuat kita betah berlama-lama.
|
Masjid Agung Palembang, September 2010 |
Perut semakin berbunyi tanda segera minta di isi, karena rindu dengan makanan khas Palembang. Akhirnya, martabak Har jadi pilihan. Keluar masjid Agung, kemudian kita bisa naik tangga penyeberangan untuk menuju toko yang saya yang maksud tadi. Beberapa menit kemudia tibalah kami di sebuah toko yang bernama Martabak Har. Martabak yang di olah hampir sama dengan martabak telur yang lainnya ini memiliki rasa yang unik, lezat. Martabak ini menggunakan kuah kari sebagai pendambing dari martabak itu sendiri.
Karena martabak Har ini tidak pernah saya temukan di kota tempat saya tinggal sekarang. Maka dari itu, sebagai pembalasan, 2 porsi martabak har tidak terasa saya sikat. Hmm, mungkin anda akan menggeleng-gelengkankan kepala mendengarnya. Tapi, karena cita rasa dari martabak ini sungguh berbeda dari martabak yang lainnya, maka saya yakin, andapun akan melakukan hal yang sama seperti saya.
Masih ragu untuk mengunjungi kota Palembang ? Tunggu apalagi, sudah bukan waktunya anda menunda-nunda waktu untuk berkunjung ke bumi Sriwijaya ini kawan. Jadikan Palembang salah satu kota tujuan wisata anda berikutnya. Ayo, nikmatin semuanya disini, di bumi Sriwijaya !. Mau wisata kuliner, mengunjungi langsung ke tempat pembuatan kain songket. Mendatangi tempat-tempat bersejarah, seperti museum, pohon cinta di pulau kemarau. Stadiun Jakabaring (Gelora Sriwijaya), sambil menonton team sepakbola andalan Sriwijaya FC berlatih. Menikmati keindahan sungai musi dengan menaiki ketek / perahu yang sudah tersedia. Menikmati keindahan Jembatan Ampera di malam hari, dan masih banyak lagi. Lalu, tunggu apa lagi kawan ?.
Saya yakin, ketika anda berada sekali saja di kota ini, anda akan merasa ketagihan untuk terus berada disini. Seperti kami yang selalu merindukan, memiliki hasrat untuk terus ingin kembali ke bumi Sriwijaya ini.